Pages

Wednesday 20 January 2016

BAB II


MASYARAKAT DAN KONFLIK

A.    Definisi Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok orang atau manusia yang mendiami suatu tempat , hidup bersama dan melakukan aktifitas-aktifitas secara bersama-sama.
Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu.
Masyarakat Menurut Para Ahli
1.      Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
2.      Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3.      Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
4.      Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
B.     Ciri-ciri masyarakat
Masyarakat Matriarchat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·         Pembagian masyarakat dalam klan-klan yang dirunut dari garis ibu (matrilineal).
·         Keluarga adalah keluarga “besar” yang biasanya “dikepalai” oleh nenek tertua atau perempuan lainnya di dalam keluarga yang dianggap sesuai untuk mengatur urusan keluarga.
·         Laki-laki dewasa yang bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak adalah saudara laki-laki Ibu
·         Kata Ibu tidak hanya terbatas pada Ibu yang melahirkan kita saja, melainkan juga saudara-saudara perempuan Ibu lainnya dari Nenek yang sama.
·         Seluruh anak-anak yang dilahirkan oleh saudara perempuan Ibu adalah juga adik dan kakak. Tidak ada istilah sepupu.
·         Perkawinan biasanya dalam bentuk, perkawinan “berkunjung”. Dimana pihak laki-laki mendatangi pihak perempuan hanya pada malam hari sampai pagi menjelang. Sedangkan sisa hari-hari seorang laki-laki akan dihabiskan di rumah Ibunya atau di tempat kerja. Pilihan lainnya adalah pihak laki-laki tinggal di rumah keluarga istrinya.
·         Anak yang dilahirkan digolongkan ke dalam klan Ibunya dan akan dinamakan berdasarkan nama Klan Ibunya.
·         Budaya yang egaliter dan demokratis dalam arti sesungguhnya.
·         Pengambilan keputusan adalah demokratis dan melibatkan semua pihak, perempuan, laki-laki, tua dan muda. Semua dapat menyuarakan pendapatnya
·         Masyarakat yang tidak mengenal tingkátan atau penggolong-golongan (misalnya dalam bentuk kasta) dan tidak mempunyai kelas/kasta/kelompok penguasa.
·         Masyarakat yang cinta damai. Tidak mempunyai kelas/kasta/kelompok tukang perang/ksatria dan tidak mengenal budaya pembentukan tentara/ksatria/tukang perang. Walaupun pengaruh-pengaruh dari masyarakat patriarchaat, yang memiliki kasta/kelas/kelompok ksatria/tentara/tukang perang, sangat besar. Tidak mengenal budaya kekerasan dan perang. Karena alasan itulah ksatria tidak diperlukan, dan budaya-budaya kekerasan seperti pembunuhan, perang, perampokan, pemerkosaan tidak dikenal dan tidak membudaya. Banyak daripada masyarakat matriarchal ini yang bahkan tidak mengenal kata “membunuh”, “memperkosa”, dan lain-lain kata-kata yang merupakan perlambang daripada kekerasan dan penindasan. Dengan persentuhan daripada masyarakat patriarchal dengan masyarakat matriarchal ini, beberapa kata-kata yang melambangkan kekerasan, penindasan dan kekejaman masuk ke dalam kosa kata masyarakat matriarchal. Akan tetapi konsep yang dikandung dalam kata-kata tersebut tetap saja tidak membudaya.
·         Memuja seorang Dewi atau seorang Ibu Suci yang dipuja sebagai Ibu Asal dari masyarakat tersebut yang merupakan perwujudan dari Ibu Alam.
·         Tidak mengenal pandangan mengenai “kepemilikan pribadi”, melainkan kepemilikan bersama dalam keluarga atau kepemilikan kolektiv. Karena itulah harta-harta seperti harta pusaka (tanah, ladang, dll) merupakan milik keluarga dengan kepemilikan diturunkan dari pihak Ibu(-Ibu) kepada anak perempuannya ataupun pihak perempuan lainnya dalam keluarga besar. Akan tetapi seluruh anggota keluarga mempunyai hak guna. Adapun hasil-hasil dari harta-harta (termasuk harta pusaka) tersebut akan dikelola oleh pihak perempuan dewasa atau nenek tertua untuk kepentingan seluruh anggota keluarga.
·         Tidak mengenal kepala-kepala dan lain-lain kedudukan yang bertumpu pada kekuasaan melainkan konsep perwakilan yang bertumpu kepada mufakat atau konsensus. Wakil dari klan ini bisa laki-laki maupun perempuan.
·         Tidak mengenal kelompok penguasa agama yang mengatur segala perizinan tentang urusan-urusan dalam masyarakat yang biasanya mengaku-ngaku serbagai perwakilan penguasa langit (Tuhan) yang merasa berhak menghukum dan mengadili masyarakat.
·         Tidak mengenal kebencian terhadap hubungan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan adalah merupakan urusan keluarga dan tidak memerlukan “izin” dari kelas “penguasa agama” melainkan dari pihak yang bertanggung jawab dalam keluarga. hubungan badan antara laki-laki tidak dianggap suatu yang hina, melainkan sebagai salah satu ungakapan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Karena itulah masyarakat matriarchal tidak mengenal konsep-konsep perversitas dalam bidang seksual seperti “pelacuran” (baik laki-laki maupun perempuan), istri/suami simpanan (konkubine), homoseksualitas, dan pemerkosaan yang umum terjadi pada masyarakat patriarchal.
·         Anak adalah mahluk yang dihargai dan dihormati keberadaannya. Karena itulah masyarakat Matriarchal tidak mengenal konsep anak haram, anak tidak ber-Bapak. Karena setiap anak adalah mahluk yang sangat dihoramti kelaihiran dan keberadaannya, dan setiap anak jelas mempunyai Ibu(-Ibu) dan mempunyai keluarga (keluarga besar). Karena itulah masayarakat matriarchal tidak mengenal budaya pembunuhan anak-anak, karena kekejian masyarakat terhadap perempuan hamil yang menyebabkan sang Ibu menggugurkan bayi dengan paksa.
·         Tidak mengenal konsep anak berdasakan kelaminnya. Karena itulah anak laki-laki maupun perempuan adalah sama dihormati dan dihargai. Tidak mengenal budaya pembunuhan anak perempuan maupun anak laki-laki karena kelamin yang satu lebih dihargai daripada yang lainnya. Anak adalah bakal individu, baik laki-laki maupun perempuan.
C.    KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Definisi dari konflik adalah :
1.      Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing, bertabrakan dan akibatnya terjadilah agrasi walaupun belum tentu berbentuk kekerasan (schelling).
2.      Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan cara pandang diantara beberapa orang, kelompok atau organisasi.
3.      Konflik domestik : isu utamanya adalah suatu kondisi dimana terdapat masalah-masalah antara pemegang kekuasaan dengan penantangnya yang diselesaikan dengan cara damai.
4.      Konflik regional : isu utama menekankan proses negosiasi dan hubungan antara negara tetangga. Bentuk hubungan bisa bersifat cooperative, competitive, dan transforming.
5.      Konflik internasional : isunya sama dengan konflik regional tetapi cakupannya lebih luas.
Konflik dapat menjadi alat yang efektif dalam percaturan internasional. Ia dapat mengemban fungsi sebagai upaya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuatan (power), memelihara kohesifitas internal dan memeperluas hubungan ke luar. Kekerasan seringkali merupakan alat yang ampuh untuk bargaining position. Meskipun demikian penyelesaian konflik selalu merupakan tujuan yang secara politik paling diharapkan, karena hal itu mengurangi korban jiwa manusia, mencegah disorganisasi suatu bangsa dan memulihkan stabilitas dalam hubungan luar negeri mereka. Penyelesaian konflik (conflict resolution) adalah suatu jalan menuju perdamaian, sekurang-kurangnya perdamaian negative, dan mempunyai fungsi lain, misalnya menjamin stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan sosial maupun ekonomi.
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
D.    Beberapa Pandangan Mengenai Peran Konflik
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1.      Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2.      Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3.      Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
1.      Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2.      Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1.      Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2.      Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Berdasarkan penjabaran pandangan-pandangan di atas, ada dua hal penting yang bisa disorot mengenai konflik:
1.      Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
2.      Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.

E.     Teori-Teori Penyebab Konflik
Untuk memahami cara-cara mengelola konflik, berikut ini diuraikan beberapa teori utama mengenai sebab konflik, masing-masing dengan metode dan sasaran berbeda :
a.      Teori Hubungan Masyarakat
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini  adalah :
1)      Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang menalami konflik;
2)      Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.

b.      Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
1)      Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap;
2)      Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

c.       Teori Kebutuhan Manusia
Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :
1)      Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu;
2)      Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak atau semua pihak.

d.      Teori Identitas
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
1)      Membentuk pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu;
2)      Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
e.       Teori Kesalahpahaman Antar Budaya
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang ingin dicapai dari teori ini adalah :
1)      Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya lain;
2)      Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain;
3)      Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

f.        Teori Transformasi Konflik
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah :
1)      Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
2)      Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik;
3)      Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.

F.     Alat Bantu Analisis Konflik
Sebelum dibahas mengenai alat bantu konflik, perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan analisis konflik. Analisis konflik dapat dipandang sebagai intervensi tetapi sekaligus sebagai persiapan untuk mengambil tindakan.  Bagi sebagian orang yang bekerja untuk menangani konflik secara praktis, konsep analisis konflik tampak sangat jauh dari pengalaman mereka sendiri. Mereka kadang berpendapat bahwa analisis konflik mengharuskan keobjektifan dan kenetralan, dan bukan pengalaman pribadi dan emosi yang kuat. Analisis konflik tidaklah demikian, tetapi sebagai suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan. Analisis konflik dapat dilakukan dengan sejumlah alat bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan sesuai. Alat bantu ini bukan merupakan proses-proses yang kaku, tetapi sifatnya adaptif terhadap keadaan-keadaan tertentu yang sedang dianalisis.
Mengapa perlu alat bantu untuk menganalisis konflik? Beberapa jawaban dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Untuk memahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini;
2.      Untuk mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, tidak hanya kelompok yang menonjol saja;
3.      Untuk memahami pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungannya satu sama lain;
4.      Untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik;
5.      Untuk belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.
Berikut disajikan beberapa alat bantu analisis konflik dan menjelaskan cara penggunaannya dalam kasus-kasus tertentu :
a.      Penahapan Konflik
Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik.
Analisis dasar terdiri dari lima tahap, yang umumnya disajikan secara berurutan di sini (meskipun mungkin ada variasi-variasi dalam situasi khusus) dan mungkin berulang dalam siklus yang sama.
Tahap-tahap ini adalah :
1)      Prakonflik
Merupakan periode di mana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.
2)      Konfrontasi
Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demokratisasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan  harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak
3)      Krisis
Merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.
4)      Akibat
Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Adapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
5)      Pasca Konflik
Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra konflik.
b.      Urutan Kejadian
Urutan kejadian adalah suatu alat bantu yang sederhana. Alat ini berupa grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian merupakan daftar waktu (tahun, bulan atau hari, sesuai skalanya) dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Anda dapat menggunakan metode ini untuk menunjukkan urutan-urutan kejadian dalam kehidupan anda, misalnya, atau sejarah negara anda. Dalam hal ini, anda dapat menggunakan urutan kejadian untuk menunjukkan sejarah suatu konflik.
Dalam suatu konflik, sekelompok orang sering memiliki pengalaman dan pandangan yang sangat berbeda;mereka melihat dan memahami konflik dengan cara-cara yang sangat berbeda. Mereka sering memiliki sejarah yang berbeda. Orang-orang yang di pihak yang berlawanan mungkin memperhatikan atau menekankan kejadian-kejadian yang berbeda, menjelaskannya secara berbeda, dan emosinya masing-masing berbeda.
Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk menempatkan sejarah yang ‘benar’ atau ‘objektif’, tetapi untuk memahami pandangan orang terlibat. Oleh karena itu, kejadian-kejadian yang berbeda digambarkan oleh kelompok lawannya sebagai bagian penting dalam memahami konflik.
Urutan kejadian juga merupakan suatu cara bagi masyarakat untuk saling mempelajari sejarah dan pandangan pihak lain mengenai suatu situasi. Dan ketika membahas pandangan-pandangan yang berbeda mengenai konflik, dan kejadian-kejadian yang diingat oleh masing-masing kelompok, pemahaman mereka akan semakin berkembang tentang situasi yang mereka hadapi bersama.
c.       Pemetaan Konflik
Pemetaan konflik merupakan teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing. Pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuan dibuatnya alat bantu pemetaan konflik adalah:
1)      untuk lebih memahami situasi dengan baik;
2)      untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas;
3)      Untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan;
4)      Untuk memaksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi;
5)      Untuk melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada di mana;
6)      Untuk mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan
7)      Untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan.
Alat bantu ini digunakan: di awal proses, bersama dengan alat-alat bantu analisis lainnya. Di akhir proses, untuk mengidentifikasi kemungkinan jalan pembuka dalam mengambil tindakan atau untuk membantu proses membangun strategi. Berbagai variasi dalam penggunaan alat bantu pemetaan konflik, misalnya : peta geografis yang menunjukkan tempat dan pihak-pihak yang terlibat, pemetaan berbagai isu, pemetaan penjajaran kekuasaan, pemetaan kebutuhan dan ketakutan, patung manusia untuk mengungkap berbagai perasaan dan hubungan.
Cara-cara memetakan suatu konflik adalah sebagai berikut:
1)      Tentukan apa yang ingin anda petakan, kapan, dan dari sudut pandang apa. Pilih suatu peristiwa tertentu dalam situasi tertentu. Jika anda berusaha untuk memetakan seluruh konflik politik di suatu daerah secara rinci, waktu yang dibutuhkan mungkin sangat banyak, petanya sangat besar dan sangat rumit sehingga tidak banyak membentuk.
Akan lebih bermanfaat jika pemetaan situasi yang sama dilakukan dengan berbagai sudut pandang yang berbeda dan perhatikan sudut bagaimana pihak-pihak yang berbeda menanggapinya. Usaha untuk merekonsiliasi sudut pandang yang berbeda merupakan intisari dalam mengelola konflik. Menanyakan apakah pihak-pihak yang memiliki pandangan tertentu akan bersedia menerima penjelasan anda tentang hubungan mereka dengan pihak-pihak lainnya merupakan suatu disiplin yang baik.
2)      Jangan lupa menempatkan diri anda dan organisasi anda dalam peta. Menempatkan diri anda di peta berarti mengingatkan bahwa anda adalah bagian dari situasi, bukan di luar situasi, bahkan saat anda menganalisisnya. Pihak-pihak lain memandang anda dan organisasi anda dengan persepsi tertentu. Anda mungkin memiliki kontak dan hubungan dengan orang lain yang menawarkan peluang untuk membantu membuka jalan dalam bekerja dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
3)      Pemetaan bersifat dinamis : mencerminkan suatu keadaan tertentu dalam situasi yang berubah dan menuntun ke arah tindakan.  Analisis-analisis seperti itu harus menawarkan berbagai kemungkinan baru. Apakah yang dapat dilakukan? Siapa yang paling baik? Apa dasar-dasar yang perlu diletakkan sebelumnya; selanjutnya struktur semacam apa yang ingin dibangun? Ini adalah beberapa pertanyaan yang harus anda tanyakan saat anda melakukan  pemetaan.
4)      Selain aspek-aspek yang ‘objektif’, isu-isu di antara pihak-pihak yang relevan dengan konflik juga dipetakan. Mengapa ada konflik? Hal-hal ini dapat diletakkan dalam sebuah kotak, seperti yang kami lakukan dalam contoh-contoh berikut, atau anda mungkin memiliki cara yang lebih baik untuk menunjukkan isu-isu yang ada.



No comments:

Post a Comment