Pages

Sunday 20 September 2015

TAUHID

Tauhid memiliki beberapa tingkat dan derajat, dan muwahid sejati adalah orang yang telah berhasil melalui tingkat tauhid.Tingkatan tauhid ini merupakan bagian dari tauhid teoritis, juga tauhid praktis.
A.    Tauhid Teoritis 
Tauhid teoritis adalah tentang pengetahuan dan pengertian tentang kesempurnaan dalam memahami keesaan Allah. Yang termasuk tauhid teoritis adalah: 
1.  Tauhid Zati, adalah mengetahui Zat Allah dalam keesaan dan ketunggalan-Nya. Setiap muwahhid mengetahui bahwa Dia itu Mahakaya, yakni segala sesuatu membutuhkan Dia dan menerima pertolongan-Nya, sedangkan Dia tidak membutuhkan segala sesuatupun: “wahai manusia, kalianlah yang membutuhkan Allah, dan Allah, Dialah yang Mahakaya lagi Maha Terpuji (QS 35:15) dalam bahasa filosof, Dia adalah wujud yang mesti ada. Para ahli tauhid memandang bahwa Allah adalah yang awal, yang menunjuk peranan-Nya sebagai Prinsip, Sumber dan Pencipta.Dia adalah Prinsip, Pencipta maujud-maujud lain, yang semuanya dari-Nya, dan Dia bukan dari apapun.Dengan bahasa filosof, Dia adalah Sebab Petama.Inilah tingkat pertama mengenal Allah dan konsepsi awal muwahhid tentang Allah. Yakni, siapapun yang berpikir tentang Allah, baik mengukuhkan ataupun menolak, percaya atau tidak, tentu bertanya kepada diri sendiri, “Adakah suatu Realitas yang tidak bergatung kepada realitas lain, bahkan segaa realitas yang lain bergantung pada-Nya, yang melaluikehendak-Nya segala realitas mewujud, dan Yang Dia sendiri tidak mewujud melalui prinsip lain apapun?” Tauhid Zati berarti bahwa Realiatas ini menolah dualitas atau pluralitas, dan sekaligus tidak memiliki kesamaan. “Tidak ada sesuatupun yang meyerupaNya” (QS 42:11). Tidak ada suatu wujud pun yang berada pada tingkat keberadaan-Nya: “ Dan tidak ada satupun yang sebanding dengan-Nya (QS 112:4). Salah Ciri makhluk aksidental adalah pluralitas, yang keberadaannya bergantung maujud yang lain. Muhammad, misalnya, termasuk anggota spesies manusia.Maka dengan demikian kita berasumsi bahwa ada angota-anggota lain dalam spesies ini.Adapun Zat yang Mesti Ada (Allah) tersucikan dari implikasi semacam itu, sehingga bebas darinya.Karena Zat Yang Mesti Ada itu Tunggal, maka prinsip dan sumber serta titik kembali dan akhir alampun niscaya tuggal. Alam tidak timbul dari berbagai prinsip, dan juga tidak kembali ke berbagai prinsip, tapi dari danke satu Prinsip: “ Katakanlah, Allah itu Pencipta segala sesuatu” (QS 13:16). Dan “Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali segala urusan” (QS 42:53)
 2.  Tauhid Sifati
Tauhid Sifati adalah memahami bahwa Zat-Nya adalah sifat-sifat-Nya itu sendiri, bahwa sifat-sifat-Nya satu sama lain sama. Tauhid zati berarti menegasikan (menafikan) keberadaan serkutu dan penyerupa, sedangkan tauhid sifati berarti menafikan keberadaan segala bentuk pluralitas dan kemajemukan pada Zat itu sendiri. Meski Zat Allah dilukiskan dengan sifat-sifat sempurna, yaitu indah dan agung, namun ia tidak memiliki berbagai aspek obyektif. membedakan Zat derngan sifat atau sesama sifat, berarti membatasi wujud. Bagi wujud tak terbatas, yang tidak bisa dibayangkan adanya wujud lain dari wujud itu, tak bisa pula dibayangkan adanya pluralitas, kemajemukan, atau perbedaan antara zat dan sifat.
Tauhid sifati, seperti tauhid Zati, temasuk prinsippengetahuan Islam, dan termasuk pemikiran manusia tertinggi, yang telah terkristalkan, khususnya dalam madrasah ahl al-Bit Rasulullah s.a.w. jadi tauhid Zati adalah memahami ketunggalan Zat dan sifat-sifat-Nya.

3.  Tauhid Amali (Tindakan)
Tauhid amali adalah memahami bahwa alam, denganseluruh norma, dan sebab-akibatnaya merupakan perbuatan dan karya-Nya, serta timbul dari kehendak-Nya, karena maujud-maujud di alam ini pada hakikatnya tidak mandiri semuanya bergantung pada-Nya, maka maujud-maujud ini tidak mandiri baik dalam akibat maupun sebab. Dengan demikian Allah tidak bersekutu dalam zat, maka dia juga tidak bersekutu dalam perantaraan (agensi).Setiap agen dan sebab mendapatkan realitas, kemaujudan, pengaruh dan agensinya dari-Nya.Setiap agen diwujudkan oleh Allah SWT.“Allah-lah yang berkehendak, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah”.
Manmusia sebagai makhluk Allah, berperan sebagai penyebab dalam mempengaruhi tindakan-tindakannya. Manusia lebih berpengaruh dalam menentukan nasibnya sendiri dibandingkan dengan makhluk lainnya, tetapi iasama sekali bukanlah maujud yang diberi kuasa penuh, dibiarkan bebas berbuat sekehendaknya. “Dengan daya upaya Allah-lah aku berdiri dan duduk”. Maka jika kita meyakini bahwa maujud (manusia) ini atau yang lainnya, diberi kuasa penuh, berarti meyakini bahwa maujud itu sekutu Allah dalam kemandirian agensi yang selanjutnya independen dalam zat, dan hal ini bertentangan dengan tauhid zati maupun tauhid amali. “ segala puji bagi Allah yang tidak beristri dan tidak beranak, yang tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan, yang tidak memiliki penopang dati ketidakberdayaan dan Mahabesar Dia” (QS 17:111).

No comments:

Post a Comment